Pecah Tabungan

Table of Contents

Sudah menjadi kodrat alam matahari nampak melintas dari timur dan menghilang diujung barat, berulang-ulang tanpa henti. Entah suka, tidak suka, senang sedih, bahagia atau B aja, Matahari akan tetap seperti itu hingga waktu diakhiri kelak. 

Matahari kadang datang kadang pergi, namun tetap menemani. meski hanya diam tanpa kata, sumbangsihnya sungguh nyata. Menatapnya dengan tajam adalah bencana, bahkan tak perlu tak harus menatapnya cukup biarkan energinya sampai, maka perasaan itu tersambung dengan nyaman. 

Memaksakan menatapnya membuat mata terbebani yang sungguh tak tertandingi, apalagi hendak menyentuhnya, terbakar hancur. Namanya emosi, terjerat kedinginan bertahun-tahun lamanya di dalam palung tak berdasar. Suatu saat ada tangga yang datang entah dari mana menjulur mengarah ke matahari, seakan memberi kesempatan melihat, merasakan bagaimanakah matahari. Terdengar suara mengajak sesekali menengok matahari di atas sana.

Dengan kemampuan seadanya, tangga panjang itu satu persatu anak tangga terpanjat, butuh bertahun-tahun hingga sampai di anak tangga terakhir. Di sanalah terdapat hamparan putih dan hitam silih bergantian secara acak. Sesekali hamparan putih mengirimkan pasirnya bersapa ke wajahku, banyak sekali hamparan hitam mengirimkan debunya menyapa hatiku. Di atas hamparan itu, nampak secercah cahaya putih agak blur tertutupi hamparan pasir dan debu. 

Lambat laun matahari makin merekah dan merekah. Membenarikan diri menatapnya, sebentar, sebentar, makin lama menatap rasa hangat merata dari ubun-ubun hingga ujung kaki. Semua kegelapan seakan tergantikan. Semakin lama rasanya matahari semakin dekat dan dekat, kulit memanas, sakit dan makin sakit.

Meskipun sakit, tahan, tahan dan tahan. Momen ini sungguh langka. Tak ayal, matahari menghilang. Rasa sakit masih ternganga namun tetap menunggunya datang lagi. Tidak ingin masuk ke dalam palung lagi.wm




Post a Comment